Header Ads

Breaking News
recent

BOLEHKAH BER-ZAKAT KEPADA ORANG TUA SENDIRI



A’udzubillaahi-minasy-syaithaanir-rajiim.
Bismillaah-hirrahmaanir-rahiim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ada yang bertanya sebagai berikut:
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Ustadz, bolehkah kita membayar zakat kepada orang tua kita sendiri yang sakit?
Contohnya begini ustadz, gaji saya rata-rata Rp 5 juta perbulan.
Artinya kalau diambil 2, 5% berarti zakat yang saya keluarkan Rp 125.000.
Tapi kalau saya menghitung sesudah pengeluaran kebutuhan keluarga saya, hanya bersisa Rp. 1 juta, jadi hanya Rp 25.000 (2, 5% x Rp 1 juta).
Sedangkan saya memberi ke orang tua Rp 300.000 perbulan ke orang tua saya yang sudah lama sakit.
Kalau kemudian itu saya niatkan sebagai zakat penghasilan saya, bisa tidak ustadz?
Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Jawab:
Menghitung zakat bukan dari sisa kebutuhan, karena kebutuhan bisa besar dan bisa juga kecil, bisa royal bisa hemat, namun dihitung dari penghasilan yaitu dari Rp. 5 juta, bukan dari sisa Rp. 1 juta. Jadi penghasilan bersih setelah dipotong zakat, itulah yang dipergunakan untuk kebutuhan dan lainnya.
Selanjutnya mengenai zakat kepada orang tua.

Sebelum dilanjutkan dengan pembahasan tersebut diatas, bahwa zakat itu hanya diperuntukkan kepada 8 asnaf dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60:
Innamaash-shadaqaatu lilfuqaraa-i wal masaakiini wal 'aamiliina 'alaihaa wal mu'allafati quluubuhum wafiirriqaabi wal ghaarimiina wafii sabiilillahi wa-ibnissabiili fariidhatan minallahi wallahu 'aliimun hakiimun
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana." – (QS.9:60)

Jadi zakat itu diperuntukkan kepada 8 asnaf yaitu:
1.     Orang-orang fakir (lilfuqaraa’i)
2.     Orang-orang miskin (masaakiini)
3.     Pengurus-pengurus zakat (aamiliina ‘alaihaa)
4.     Para Muallaf yang dibujuk hatinya  (mu’allafati qulubuhum)
5.     Untuk memerdekakan budak (fiirriqaabi)
6.     Orang yang berhutang (ghaarimiina)
7.     Untuk jalan Allah (fii sabiilillahi)
8.     Orang-orang yang sedang dalam perjalanan (ibnissabiili)
Sedangkan untuk memerdekakan budak, sekarang ini sudah tidak ada lagi, jadi sekarang tinggal 7 asnaf.
Apakah orang tua kita termasuk 7 asnaf tersebut diatas?

Anak adalah milik orang tuanya

Kita kembali kepada orang tua; Anak dari kecil dibesarkan oleh orang tuanya, jadi milik siapa anak ini? Jawabannya adalah milik orang tuanya.

Dari Aisyah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Anak seseorang itu termasuk jerih payah orang tersebut bahkan termasuk jerih payahnya yang paling bernilai, maka makanlah sebagian harta anak.” (HR. Abu Daud, no.3529 dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seenak-enak makanan yang dimakan oleh seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri dan anak seseorang adalah termasuk jerih payahnya.” (HR. Abu Daud, no. 3528 dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Dari Jabir bin Abdillah, ada seorang berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak namun ayahku ingin mengambil habis hartaku.” Rasulullah bersabda, “Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ibnu Majah, no. 2291, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Hadis ini menunjukkan bahwa sang anak dalam hal ini sudah berkeluarga bahkan sudah memiliki anak meski demikian Nabi tetap mengatakan “Semua hartamu adalah milik ayahmu.”

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakek ayahnya yaitu Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, ada seorang yang menemui Nabi lalu mengatakan, “Sesungguhnya ayahku itu mengambil semua hartaku.” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk jerih payah kalian yang paling berharga. Makanlah sebagian harta mereka.” (HR. Ibnu Majah, no. 2292, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Jika orang tua mengambil harta anak maka tidak boleh bagi anak untuk menuntut orang tuanya agar mengembalikannya. Jika ternyata orang tua mengembalikannya maka alhamdulillah. Namun jika tidak mengembalikan harta tersebut, maka itulah hak orang tua.
Ketika menjelaskan hadits di atas Al-Albani mengatakan, “Hadits di atas memuat hukum fikih yang penting yang boleh jadi tidak dijumpai dalam hadits yang lain. Hadits ini adalah penjelasan untuk hadits yang terkenal, ‘Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu‘, sebuah hadis yang terdapat dalam Irwaul Ghalil, no.838- tidaklah berlaku mutlak sehingga orang tua boleh mengambil harta anaknya semaunya. Ini tidak benar. Orang tua hanya boleh mengambil harta anaknya yang memang dia butuhkan.”

Tujuan , ‘Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu‘, adalah agar anak tidak memperhitungkan sudah berapa banyak harta yang diambil orang tuanya.

Perlu juga diketahui bahwa bahwa orang tua diperkenankan untuk meralat alias tidak jadi memberikan apa yang dia janjikan untuk dia berikan kepada anaknya sebagaimana dalam hadits berikut ini,
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Thawus dari Ibnu Abbas, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah halal bagi seseorang yang memberikan pemberian kepada orang lain untuk menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Permisalan orang yang memberi pemberian kemudian menarik kembali pemberiannya adalah bagaikan seekor anjing yang makan sampai kenyang lalu muntah kemudian menjilat kembali muntahannya.” (HR. Nasai, no. 3690 dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Hadits di atas menunjukkan bahwa “Pemberian yang haram untuk ditarik kembali adalah pemberian kepada selain anak.” (Bahjah an Nazhirin, karya Salim al Hilali jilid:3 Hal.123, terbitan Dar Ibnul Jauzi cetakan kedelapan 1425 H).
Jika pemberian yang sudah diserahkan orang tua kepada anaknya boleh diralat alias ditarik kembali, maka terlebih lagi jika pemberian tersebut baru sekedar janji. Tentu lebih boleh lagi untuk diralat.
Sebagaimana Abubakar Ash-shiddiq meralat pemberiannya kepada anaknya Aisyah Radhiallahu ‘anhuma ketika hendak meninggal dunia.

Tetapi kebalikannya, pemberian anak kepada orang tuanya tidak boleh ditarik kembali, walaupun hanya berjanji, karena Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan penuhi janjimu, kecuali orang tua ridho untuk membatalkan atau mengembalikannya.

Jadi karena anak milik orang tua, dan muzakki tidak boleh berzakat kepada yang wajib di nafkahi, jadi kewajiban anak untuk menafkahi orang tuanya.
Kesimpulannya tidak boleh berzakat kepada orang tua, justru harus mengurus orang tua walaupun hartanya habis, karena harta dan anak juga milik orang tua.

Dari Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah pemberian Allah kepada kalian sebagaimana firman Allah yang artinya, ‘Dia memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki anak perempuan dan Dia memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki anak laki-laki.” (QS. Asy-Syura: 49). Oleh karena itu, maka mereka dan harta mereka adalah hak kalian jika kalian membutuhkannya.” (Shahih, Silsilah Shahihah, no.2564).

Al-Qur’an Surat 42 Asy-Syura ayat 49:
Lillahi mulkus-samaawaati wal ardhi yakhluqu maa yasyaa-u yahabu liman yasyaa-u inaatsan wayahabu liman yasyaa-udz-dzukuur(a)
"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan, kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak-anak lelaki, kepada siapa yang Dia kehendaki," – (QS.42:49)

Tidak boleh memberikan zakat kepada orang yang wajib di nafkahi
Salah satu kaidah yang berlaku terkait penerima zakat,
“Tidak boleh memberikan zakat kepada orang yang wajib dinafkahi oleh pembayar zakat (muzakki)”
Penjelasannya:
Ketika kita memberikan zakat kepada orang yang wajib kita nafkahi, seperti anak, istri, atau orang tua, maka mereka menjadi tidak butuh nafkah dari kita. Sehingga ada sebagian harta kita yang seharusnya menjadi jatah nafkah untuk anak atau orang tua, tidak jadi kita berikan, karena mereka sudah memegang harta dari zakat kita. Dengan demikian, ada manfaat dari zakat yang kita bayarkan, yang kembali kepada kita sebagai muzakki.

Kesimpulan di atas merupakan kesepakatan ulama, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Dalam bukunya Al-Ijma’ (Kumpulan konsensus ulama), beliau mengatakan,
“Para ulama sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada kedua orang tua, pada keadaan di mana zakat itu akan menutupi kewajiban muzakki untuk memberikan nafkah kepada mereka.” (Al-Ijma’, hlm. 48)

Ibnul Mundzir juga mengatakan,
“Para ulama sepakat bahwa seorang suami tidak boleh memberikan zakat kepada istrinya. Karena nafkah istri menjadi kewajiban suami. Dan istri dianggap kaya, dengan kekayaan suami.” (Al-Ijma’, hlm. 49)

Ibnu Qudamah setelah menyebutkan keterangan Ibnul Mundzir di atas, beliau menjelaskan,
Karena orang yang memberikan zakat kepada orang yang wajib dinafkahi, menyebabkan mereka tidak butuh untuk dia nafkahi, sehingga gugur tuntutan nafkah darinya, sehingga ada manfaat zakat yang kembali kepadanya. Seolah-olah dia memberikan sebagian zakat itu kepada dirinya sendiri, dan ini tidak boleh. Sebagaimana ketika ada orang yang melunasi utangnya dengan zakat. (Al-Mughni, 2/482).

Jadi, jangan ingin menghindar dari kewajiban membayar zakat dengan alasan mengeluarkan uang zakat kepada orang tua, karena orang tua, isteri dan anak adalah kewajiban untuk menafkahi.
Demikian juga jangan ingin menghindar dari kewajiban membayar zakat dengan alasan membayar hutang, karena hukum zakat diberikan kepada orang yang berhutang adalah orang lain, bukan diri sendiri.
Kembali kepada pertanyaan diatas, memberi kepada orang tua bukan hanya Rp. 300.000,- tetapi berapapun besarnya yang harus dikeluarkan, karena orang tua, isteri dan anak termasuk yang wajib dinafkahi.

Demikian, Semoga bermanfaat.
Wallahu’alam.
Jazakallah Khairan, Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. 
(Sebagai ganti ucapan terima kasih).
Wasalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Empat Malaikat yang Menyertai Manusia.

Empat Malaikat yang Menyertai Manusia. A’udzubillaahi-minasy-syaithaanir-rajiim. Bismillaah-hirrahmaanir-rahiim. Assalamu’a...

Copyright © andre. Diberdayakan oleh Blogger.